Sesederhana Melihat Senyum dan Caramu Tertawa, Dua Hal yang Berhasil Membuatku Jatuh Cinta
Elisa, ini kali pertama kita duduk berdua. Di bangku coklat bawah beringin yang daun-daunnya rimbun. Kau gugup, aku pun sama. Hampir tak ada pembicaraan pasti di sini. Selebihnya hanya sunyi. Ternyata kita sama-sama menenangkan degup-degup yang ada dalam dada. Ah, kenapa kita kesulitan bicara.
“Kok, diam?” aku mulai membuka pembicaraan. Sebagai laki-laki, aku merasa tertuntut untuk mengawali ini semua. Tapi, itu awalan yang buruk dalam pembicaraan, menurutku.
“Mmm…” kau kelihatan begitu gugup, Elisa. Rasanya kalau begini, aku malah canggung untuk bicara lebih banyak lagi.
“El…” panggilku. Kau menoleh. Di matamu, seperti ada ribuan kata-kata yang harus dikeluarkan. Tapi sayangnya, mulutmu mengunci. Dan aku tak tahu cara membukanya. Aku tak tahu cara apa yang pas, sekaligus pantas agar kau bicara.
Kulihat, satu daun gugur di depan kita. Kita yang tak bicara. Lalu, tiba-tiba saja cuacanya bertambah dingin. Suasana sama sekali belum mencair. Malah lebih lama lebih jadi beku. Elisa, aku ingin kau bicara. Bicara apa saja, yang penting tidak diam seperti ini.
“Kak, mmm, aku bingung mau bicara apa”. Ya, Elisa. Aku tahu kau baru kali ini sendirian bersama seseorang yang kau cintai. Aku tersenyum, kau juga. Kau telah bicara, walau tentang kebingunganmu. Kulihat kau kembali memandang ke depan. Memandang daun-daun berlambai-lambai karena angin. Rumput bergoyang dan semut-semut merah di ranting pohon.
“El, kau tahu tidak kenapa aku mengajakmu ke sini?”
“Nggak,” katamu sembari merapikan kerudung yang sebenarnya sudah rapi. “Aku nggak tahu”.
“Tebak. Tebak sesukamu,” kujauhkan sedikit tempat dudukku. Agaknya kau mulai risau, barangkali aku terlalu dekat. “Aku tahu kamu suka mengarang. Coba, karanglah sesukamu,” lanjutku.
“Aku beneran nggak tahu”. Suaramu lirih. Lirih sekali.
“Bohong, ah. Aku nggak percaya,” kataku mendesak.
“Nggak, kok”.
Akhirnya, kita kembali diam. Kau memandangi langit yang perlahan mulai petang. Dan merpati yang sayapnya berkecipak bersamaan. Mereka ingin pulang.
“Ya, sud__” kita berpandangan. Dengan bersamaan mengucapkan kata yang sama. Lalu, kau tertawa. Aku juga. Tawamu, sebagaimana biasanya, selalu manis. Selalu cantik.
“Oke, oke. Kelihatannya tadi mau menjelaskan”.
“Begini,” (Elisa, jangan ragu untuk bicara. Ayolah.) “Mungkin… kamu mau memperkenalkan tempat ini. Em, tempat yang biasa jadi inspirasimu untuk menulis,” ungkapmu. Itu cukup, Elisa. Aku cuma butuh penjelasan yang sederhana. “Selebihnya aku nggak tahu, sih”.
Aku tersenyum. Senyum yang tulus, Elisa. Senyum yang pernah kuperlihatkan saat pertama kali menolongmu kala itu. Kala kau terjatuh dari sepeda.
“Sebenarnya, tujuannya apa, sih?” tanyamu manja.
“Tujuannya? Ya, daritadi aku juga nggak tahu”.
“Tuh, kan. Aku dikerjain…” mukamu memerah. Eh, tidak. Memerah muda. Kita tertawa lagi. Ternyata, sederhana juga. Tidak ada pembicaraan yang serius. Ya. Seperti inilah yang aku mau. Kita sudah saling tahu perasaan masing-masing. Kita sudah saling menyatakan cinta lewat sms. Sederhana bukan?
**
Sore yang biasa itu, salju turun di Medalem. Sebuah desa kecil yang berada di pelosok Kabupaten Tuban. Tiada yang tahu apa sebabnya butiran-butian putih dingin itu turun. Membuat senja tidak jadi menyapa. Membuat burung-burung kedinginan dalam sangkar dan daun-daun beku terkapar.
Perlahan-lahan pohon-pohon daunnya putih. Tanah-tanah rumputnya putih. Semuanya menjadi putih. Semakin tebal dan tebal.Tapi anehnya, salju itu hanya turun di Medalem saja. Di tempat yang lain tidak, maka fenomena ini menjadi bahasan penting bagi para penduduknya.
Di desa-desa lain tidak ada salju turun waktu itu. Kok salju, hujan saja jarang, maka berbondong-bondonglah penduduk desa lain itu datang memandang. Mereka kagum pada Medalem, desa kecil yang sering dianggap brutal orangnya. Medalem begitu beda sekarang. Begitu indah. Mereka menyaksikan itu semua dari luar desa. Barangkali takut menggigil karena kedinginan.
Orang-orang Medalem terperangkap di rumahnya sendiri-sendiri. Sedangkan dua orang itu, laki-laki dan perempuan. Terperangkap di bawah pohon beringin. Mereka bisa saja pergi dari sana dan masuk rumah. Tapi, mereka sadar hanya sekadar tokoh dalam cerita pendek ini. Tidak berhak memutuskan jalan cerita.
**
Elisa, aku tak mengerti kenapa tiba-tiba ada butiran-butiran kecil itu turun di sini. Kita terjebak di sini. Di bawah beringin yang daunnya rimbun. Di sekitar kita tiada siapa-siapa, kecuali serangga yang berbondong-bondong mencari perlindungan.
“Kenapa, El?” kutanyakan terlebih dahulu. Sebab, kelihatannya kau ingin bicara.
“Kok, salju turun di sini?” katamu heran.
“Aku nggak tahu, El. Padahal kan tempat ini di jalur khatulistiwa”.
“Aneh”.
Ada diam sebentar. Ada hening yang kelak akan membuat jeda dalam pembicaraan.
“Kita terjebak di sini, Kak”. Kau menggenggam tanganmu sendiri. Elisa, kau tampak kedinginan. Sementara salju semakin tebal saja. Walaupun daun-daun beringin menepisnya, dingin tetap bisa menampar pipi kita.
“Kau kedinginan?” harusnya aku tak menanyakan ini. Sebab jelas-jelas kini kau meniupi tangan.
“Nggak,” kau menggeleng. Tersenyum. “Aku nggak kedinginan, kok”. Perempuan memang sering menyembunyikan perasaannya.
Kita terdiam kembali seperti tadi. Lalu, perlahan kutanggalkan jaketku. Kukenakan di tubuhmu.
Matamu yang indah menatapku. Aku selalu suka tatapan matamu itu.
Kau tersenyum. Aku selalu suka memandang caramu tersenyum.
Lantas kau memalingkan wajah ke jauh-jauh tempat. Menembus salju. Aku selalu suka perlakuanmu seperti itu. Kau seperti sedang membayangkan sebuah dongeng-dongeng. Dongeng yang tak pernah ada orang-orang menjamah keindahannya. Cuma kita.
“El, kamu pernah nggak membayangkan kalau…” aku ragu mengungkapkannya. “Kita berpisah, misalnya.” Sorot matamu berubah. Seolah-olah pertanyaanku adalah sebuah ancaman. Namun, tidak lama berselang kembali seperti semula.
“Pernah. Dan, dan aku menangis”. Suaramu kian lirih.
“Kenapa?” tanyaku buru-buru.
“Sebab, aku ngrasa… kamu sudah benar-benar menjalin hubungan denganku”.
“Terus?”
“Aku tidak pernah punya cita-cita mencintai dan dicintai dengan dusta. Dengan kebohongan. Dengan kesia-siaan. Cinta yang hanya untuk mainan”.
Sudah cukup, Elisa. Aku terharu atas pengakuanmu. Kau memang beda dari yang lain. Aku tahu, ini kau jatuh cinta untuk pertama kalinya. Kau tak kan mempermainkan cinta.
“El, aku akan meminangmu!” tiba-tiba saja mulutku bicara seperti ini. Rasanya tidak sengaja. Tapi, selanjutnya tak pernah kusesali. Kemudian di kelopak matamu ada embun. Kau usap embun itu. Embun itu jadi banyak. Mengalir pelan ke pipimu. Kau usap kembali.
Aku tahu arti air mata itu, Elisa. Aku tahu. Aku tahu kau gampang terharu sepertiku. Kau kembali tersenyum.
“Eh, lihat itu…” kau mengalihkan pembicaraan. Jarimu menunjuk ke arah kucing kecil kedinginan di bawah pohon cemara. “Kita ke sana”.
“Tapi,”
“Aku tidak kedinginan, kok”.
Baiklah, Elisa. Kita pun akhirnya mendekati cemara. Tanpa banyak bicara, kau tanggalkan jaketku yang kau kenakan. Lalu menyelimuti kucing itu. “Kasihan sekali,” gumammu.
Akhirnya, kau membopong kucing itu. Lantas kita pergi. Dalam batinku, aku tidak salah memilihmu. Hatimu begitu baik. Begitu tulus. Menyakitimu sama saja menyakiti hati malaikat yang notabenenya tak pernah bisa sakit hati. Elisa. Ya, siapa lagi. Tidak salah aku memilihmu!
0 Komentar